Kamis, 12 September 2013

Berpisah dengan Suami dan Anak-Anakku





     "Wa'alaikumussalam... Kakak sedang apa? Mana Bapak sama Nana?" langsung saja kujawab dan kutanya pada anak pertamaku yang ada di seberang sana begitu dia mengucap salam.
     "Nggak sedang apa-apa kok, Bu. Bapak sama Nana belum pulang. Ibu sedang apa? kok suaranya begitu? Ibu sakit ya?"  rupanya dia menyadari perubahan suaraku.
     "Ini...sama Ayu lagi di taman nyuapin Yuri. Di kamar sumpek, jadi sekalian jalan-jalan. Nggak sakit kok, cuma sejak kemarin nggak tau kenapa Ibu nggak selera makan --"
    "Bu. Makan. Jangan sampai nggak makan. Apalagi di sana, pasti lebih dingin daripada di rumah. Gimana kosan Ayu di sana?" belum selesai aku bicara, anakku ini sudah memotong. Suara tegas itu adalah suara khawatirnya. Aku merindukan suara mereka anak-anakku di sana juga suara Bapak, suamiku.
     "Kosnya bagus, keliatannya aman, Ayu juga sepertinya udah nggak niat cari kosan lain. Lagipula kalau jalan kaki nggak begitu jauh dari kampusnya."
     "Ya sudahlah, Bu. Terus Ibu dapat apa dari yang punya kos? Dapat kasur tambahan nggak? Dapat bantal, selimut nggak? Dapat air hangat nggak?" duh Kakak ini, rupanya masih belum nyerah dengan bagaimana keadaan kami di sini.
     Anak pertamaku ini bisa dibilang yang paling cerewet kalau dia merasa ada yang belum pas dan belum beres. Sudah jadi kebiasaannya, semua dikomentarin. Gayanya aja cuek, nggak bakal mau diperintah-perintah, bakal ngedumel. Beda lagi dengan adiknya, Nana, anak keduaku. Dia nggak begitu mau ngurusin hal-hal sepele yang nggak begitu ada hubungannya dengannya, tapi dia itu sebenarnya sangat perasa hanya saja dia lebih cenderung pendiam. Ayu, anak ketigaku, dia itu jagonya betah-betahan nggak melakukan banyak hal, mager alias males gerak.
     Tapi dibandingin kedua kakaknya, Ayu ini yang paling ambisius. Jika dia sudah menargetkan sesuatu, dia pasti akan kejar sampai dapat. Buktinya, ya ini. Dia kuliah di luar kota. Bisa dibilang aku kecolongan dia kuliah di luar kota, aku nggak tau, Bapaknya tau. Kakak-kakaknya lebih memilih untuk kuliah yang letaknya nggak jauh-jauh dari rumah. Selama delapan belas tahun bisa dikatakan, Ayu hidup sebagai si bungsu walau sudah lima tahun lalu dia akhirnya juga menjadi kakak dan gelar si bungsu jatuh pada Yuri. Yuri, nama lengkapnya Yurina. Nana ingin adiknya ada nama "Yuri"nya, entah kenapa. Kakak-kakaknya juga setuju. Tapi mereka memutuskan memberikan nama Yurina, gabungan dari Rany, Nana, Ayu. Maunya begitu, padahal jelas sekali urutannya lebih ke Ayu, Rany, Nana. Si Yuri ini paling gelap kulitnya dari kakak-kakaknya walaupun namanya Yuri (bahasa jepang = bunga lili *warnanya biasanya putih*), tapi dia nggak selembut n seputih lili. Yuri itu agak tomboy karena teman bermainnya lima dari enam atau tujuh orang adalah anak laki-laki, sukanya main sepeda dan bola, main polisi-polisian dan nggak pemalu. Biar begitu, dia anakku yang paling lucu. Yuri juga terkadang manis, pernah dua kali dia pulang dengan menggenggam bunga liar.
     "Nih, buat Ibu." katanya tiba-tiba pulang ke rumah langsung mencariku ke dapur sambil menyodorkan bunga-bunga di tangannya padaku. Aku menerimanya dengan senang dan sedikit geli. Ah, suamiku saja nggak pernah memberi bunga.
     "Makasih...muah. Petik di mana?" sambil membungkuk kupeluk pundaknya dan kucium dengan gemas pipinya.
     "Itu, di deket kali." yang dia maksud adalah got di dekat yang lumayan besar tapi nggak banyak airnya saat bukan musim hujan.
     "Ahahahahaha...makasih ya." lucu dan manis bukan.
     "(Ibu) apain?" maksudnya ngapain. Umur empat tahun, bicaranya masih banyak yang belum bener tapi dia sudah bisa bilang "R". Kakaknya si Nana, sampai sembilan belas tahun "belum" bisa bisa nyebut "R". Walau caraku dan suamiku memperlakukan anak-anakku sama, tapi mereka nggak ada yang sama. Tentu saja, karena anak kembarpun bisa berbeda.

Kembali ke percakapan kami.

     "Selimut sama air hangat aja yang nggak dikasih. Mau minta kok gimana gitu, harusnya kan ya dikasih. Lha udah bayar lima puluh ribu per malam berdua sama Yuri. Lagipula itu kamarnya udah dibayar. Mau masak air, dapur kosan belum ada alat masak dan gasnya. Kasihan Yuri, badannya masih anget belum sembuh sejak di rumah Mbah kemarin, mandinya air dingin. Nangislah dia. Tapi ya udah nggak apa-apa, mau gimana lagi." daripada sekedar mengatakan "nggak apa-apa" sama kakak, yang pasti kakak nggak mungkin mudah percaya, lebih baik sekalian saja kuceritakan. Sesaat nggak ada jawaban darinya. Hening.
     "Hih!" hanya itu yang terdengar.
     "Ngomong sama Ayu aja ya, suara Ibu udah tambah susah keluar." aku nggak tahan ingin menangis, tapi aku nggak ingin anakku mengetahuinya dan nggak ingin juga Ayu melihatnya. Aku menyerahkan ponsel pada Ayu.
     "Halo kak." Ayu menyambung pembicaraan. Percakapan mereka seputar kos dan ospek. Ayu lebih sering hanya membalas dengan "iya". Rupanya Kakak sedang memberi wejangan. Entah berapa lama mereka barcakap-cakap.
     Aku baru kali ini berpisah cukup lama, hampir sebulan dengan suami dan kedua anakku. Terlalu berat buat ragaku yang tak semuda dulu untuk perjalanan dari satu kota ke kota lain dengan jalur laut dan darat. Sekitar seminggu lagi aku akan kembali pada suami dan kedua anakku menempuh jalur udara dan darat yang nggak sejauh jalur darat yang kutempuh saat menuju tempat Ibuku dan kosan anakku. Meninggalkan seorang anakku di kota ini. Aku kangen pada suami dan anak-anakku yang di rumah, tapi nanti aku pasti juga kangen pada anakku, Ayu, ini.


#PeopleAroundUs Day 2


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome blogger.... ^_^
Ber-komen-lah dengan bahasa yang baik & no SARA.