Sabtu, 24 Mei 2014

Si Bejo

Namanya Bejo. Bejo kalau bisa ngomong, punya baaaaanyak cerita buat dibagi. Semua terpancar dari matanya yang selalu terlihat bening dan mengkilat. Seolah berkata "aku melihat banyak, banyak yang bisa kuberitahukan padamu".

Kisah terakhirnya yang nggak akan dilupakan yaitu kisah kasihnya atau mungkin kisah persahabatannya dengan satu-satunya kawan yang dipaksa sekamar dengan Bejo karena sebuah luka yang membuat sang kawan nggak bisa melanjutkan perjalanannya.


Mungkin seperti orangtua yang "ditelantarkan" secara emosional oleh anak-anaknya, Bejo juga mengalaminya. Ya, rasanya Bejo pernah, sempat merasakan itu. Umurnya sudah nggak muda lagi waktu itu, sudah cukup tua. Bejo yang sehari-hari selalu di kamarnya, sudah semakin kesepian karena anak-anak yang biasanya sering berada di sekitarnya mulai sibuk dengan aktivitas tumbuh kembang. Dengan banyaknya teman baru, mainan baru yang membuat Bejo terabaikan.

Bejo dari kamarnya selalu, setiap hari, tanpa henti melihat pemandangan yang sama. Merasakan dinginnya udara malam dan panasnya udara siang yang hampir selalu sama. Setiap hari. Anak-anak tadi berkali-kali beberapa saat berada di sekitar kamar Bejo, melihat Bejo sekilas. Dan karena Bejo masih terlihat sama, masih terlihat baik-baik saja, anak-anak itu lalu meninggalkan Bejo lagi seolah Bejo hanyalah pajangan.

Tapi suatu hari datanglah dia, yang suatu saat menjadi kawan dekat Bejo. Dia datang dengan terluka pada salah satu kakinya. Lupa kaki yang sebelah mana. Dia nggak berkutik saat dengan terpaksa menerima bantuan pengobatan untuk menyembuhkan lukanya. Dia juga nurut saja saat ditempatkan sekamar dengan Bejo.

Kini Bejo sudah nggak sendiri lagi.

Pemandangan yang kini Bejo lihat, lebih menyenangkan (se-enggak-nya itu menurut saya setelah diingat-ingat) karena keberadaan seorang kawan itu. Makan bersama. Sudah nggak merasa dingin atau panas sendiri lagi. Oh, mungkin nggak juga, sih. Tapi kini Bejo sudah memiliki seorang kawan, sehingga semua terasa begitu lebih hangat pada rasanya.

Mereka tampak akur, tapi sayang itu nggak berlangsung lama. Hingga suatu saat..........

Sang kawan kabur meninggalkan Bejo di kamarnya. Sendiri. Lagi. Sang kawan yang memang terlihat lebih muda bisa jadi masih ingin merasakan bebas berada di luar sana. Mungkin sang kawan sudah mengajak serta Bejo, tapi apa mau dikata, Bejo sudah nggak muda lagi. Bejo tahu itu, dirinya sudah nggak sanggup untuk berkelana di dunia yang belum dia pahami ini. Mungkin Bejo terlalu pengecut untuk kabur bersama sang kawan.

Berbeda dari Bejo, sang kawan sudah bertekad untuk pergi. Bahkan tanpa berpamitan pada orang-orang yang telah merawat lukanya.

Keesokan harinya, orang-orang hanya menemukan Bejo sendirian di kamarnya. Orang-orang terkejut dan menyayangkan kenapa sang kawan pergi begitu saja. Orang-orang sudah terbiasa melihat Bejo bersama sang kawan, tapi kini sudah nggak ada mereka. Hanya ada Bejo.

Beberapa hari setelah kepergian sang kawan, Bejo kami temukan sudah di bawah tempat biasanya Bejo bertengger dan kaku di kamarnya,

meninggalkan dunia.

Saya mengerti, mungkin saja Bejo, sang merpati putih berumur dua belas tahun itu, merasa sang kawan yang adalah juga seekor merpati berwarna abu itu adalah kekasihnya. Dan Bejo begitu kehilangan, kesepian, sedih hingga Bejo merasa nggak sanggup lagi untuk bertahan lebih lama berada di dunia, di kamar, di sangkarnya.

Ya, itulah akhir kisah kasih Bejo. Merpati satu-satunya yang pernah dipelihara yang rela menempuh perjalanan jauh dari luar pulau dan menjadi bagian dari keluarga kami. Bahkan Bejo nggak berusaha untuk kabur walau sebenarnya Bejo masih bisa terbang tapi lebih memilih untuk (sepertinya) berpura-pura malas terbang tinggi. Hingga akhir waktunya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Welcome blogger.... ^_^
Ber-komen-lah dengan bahasa yang baik & no SARA.