PLAK!!
Well to the well, well well...akhirnya, tangannya mendarat juga di pipi kananku. Awuhh rasanya begitu sakit di hatiku, bukan di pipi. Di hati.
Sudah kuduga, sudah ku antisipasi tamparannya tapi entah kenapa rasanya tetap begitu nyeri dan sesak di dada ini. Mungkin aku yang salah menyampaikan, mungkin dia yang salah tanggap. Mungkin kami nggak ada yang salah. Tapi tamparan barusan yang diikuti dengan pelukannya kemudian, meyakinkanku bahwa dia merasa bersalah.
Aku masih diam dalam pelukannya untuk sesaat. Merasakan guncangan badannya karena isak tangisnya. Aku berusaha melepaskan diri karena merasa kesal, walau akhirnya aku menyerah dan menggosok lembut punggungnya untuk membuatnya lebih tenang.
"Maafin aku, Ra. Maaf." Suaranya begitu lirih tapi cukup jelas terdengar. Masih memelukku dengan menyandarkan dagunya pada pundakku.
"Haaah." Aku hanya melampiaskan kejengkelanku dengan sebuah embusan napas berat dan kini menepuk-nepuk punggungnya.
"Maaf karena tamparan itu. Maaf karena semua yang kamu bilang itu benar dan aku hanya nggak sadar betapa keterlaluannya sikapku. Tapi kenapa..."
Segera kulepaskan pelukannya sebelum dia menyelesaikan kalimatnya dan kutoyor jidat jenongnya. Dia menerima toyoranku sambil masih memperlihatkan wajah meweknya dan mulai menyeka ingus yang mulai turun dari salah satu lubang hidungnya dengan punggung tangan.
"Maaf juga deh, karena terus terang. Ya, habisnya gimana dong...hehe. Udah nggak papa. Yang penting gitulah, udah lega. Makan yuk, laperrr." Seruku sambil membalik badannya dan berjalan beriringan sambil menepuk-nepuk lengannya.
Haduh sohibku ini, dia emang kadang nggak tahu sikon alias kurang peka dan sering henri, heboh sendiri, tapi dia benar-benar sohib yang pengertian. Aneh, kan. Nggak ada duanya.
Ada desir kesedihan dalam dadaku karena dalam waktu dekat harus segera meninggalkannya. Meninggalkan satu-satunya kakakku itu.
***
Dua bulan sebelumnya
Dua bulan sebelumnya
"Dek, numpang nge-charge dong."
"Ih, sebut apaan lagi?" Kataku sambil memasang wajah datar dan membiarkannya menyambungkan kabel USB pada netbook-ku untuk men-charge ponselnya, sementara aku mencomot beberapa potong kripik kentang Mister Potato dari bungkusnya dan segera mengunyahnya.
Aku tahu, kalau "dek" sudah muncul dari mulutnya, pasti ada maunya yang lain.
"Hmm...pinjam baju dong, buat ntar malam."
"Ya pilih aja sana, tho. Pake bilang dek segala, cuma beda dua taun doang. Sok tua ah. Biasanya juga pas mau pake baru bilang." Aku mencoba untuk tetap fokus pada laporan yang sedang kubaca ulang tanpa mengalihkan pandangan dari monitor.
"Yang itu tapi, yang di kotak. Di dalam plastik di atas mejamu."
"Kotak?" Perhatianku teralihkan dari monitor dan berpikir sejenak. "Uwenak'e! Itu kan masih baru. Kemarin ini, MBAK. Dan itu bukan baju, tapi dress!" Yap, di-capslock dan blod. Penekanan tanda protes bin nggumun alias heran.....deh. Buyar sudah konsentrasiku. Seandainya tanganku nggak sibuk memasukkan kripik kentang ke mulut, sudah kucubiti dia.
"Yaaaa itu, dress yang manis itu. Yayaya?"
"..." Menatapnya lurus sambil tetap mengunyah.
"Ntar gantinya, mau apa aja bilang deh...asal jangan seharga dress-mu itu aja. Anggap aja uang sewa."
"Enak aja nyewa, salon kalee. Lemarimu itu lebih banyak koleksi dress-nya deh daripada punyaku. Lagian, ada acara apa sih ntar malam, kok dadakan segala."
Dia hanya tersenyum lebay, from ear to ear...dia tahu kalau aku "pasti" bersedia meminjamkan dress itu dan segera berlari riang ke kamarku.
"Apa apa apa?" Aku penasaran dan mengikutinya ke kamar.
***
Malam hari, sepulang Mbak dari "acaranya".
Di kamarnya aku rebahan sambil memainkan game di ponsel. Dari pantulan cermin meja rias, dia terlihat membersihkan sisa riasan pada wajahnya sambil senyum-senyum sendiri. Setelah itu dia beranjak menuju kamar mandi dan mulai mencuci wajahnya dengan cairan sabun pembersih wajah.
Wajahnya terlihat segar dengan seluruh rambutnya diikat ke atas dengan bandana menahan poni itu untuk menutupi jidat jenongnya. Sambil senyum-senyum, nyengir lebih tepatnya, dia duduk di pinggiran tempat tidur dan menyilangkan kakinya. Kemudian memeluk kedua lututnya, melepaskan pelukan pada lututnya lagi. Ekor mataku memaksa mataku melirik tingkahnya, mengalihkan perhatian dari game di ponselku.
"What?"
"..." Dia masih nyengir, lalu sedetik kemudian mengatupkan kedua bibirnya seolah ingin menelannya.
"Apa?"
Karena nggak ada tanggapan, ku melanjutkan gameku.
"Dua bulan lagi aku menikah."
"WHAT? AGHH!!" Pletak. Ponsel lolos dari genggamanku dan mendarat sembarangan di wajah. "Si itu ngelamar? Ciyus?"
"The one and only. Siapa lagi. Namanya Rendi, bukan si itu." Protesnya sambil memonyongkan bibirnya.
"Mbaaaaak akhirnya. Syukurlah, selamat ya." Aku segera duduk dan berhambur ke pelukannya.
"Aku seneng banget. Aku udah ada feeling dia bakal ngelamar karena sebelum janjian makan malam tadi aku diminta pakai pakaian yang paling cantik menurutku." Dia mulai bercerita.
"Tapi di mobil dia malah diem aja, nyetel musik yang galau pula. Wah jangan-jangan feelingku salah. Aku sempet mikir, mau minta putus kali ya. Aku tanya dong ke dia, ada apa sih, aku ada salah ya...kok kamu diem aja. Lagunya juga nggak enak. Dia cuma bilang nggak ada apa-apa kok. Nah pas di depan taman, eh dianya malah berhenti. Dia bukain pintuku minta aku keluar tapi gak kasih tangannya." Gayanya memperagakan bagaimana Rendi terkesan cuek.
"Lalu manggil becak."
"Becak? Terus terus."
"Terus, ya aku tanya ngapain kita naik becak. Aku pakai gaun, lho. Gitu deh. Tapi dia bilang, udah naik aja sambil bantuin pegang tanganku sampai aku duduk. Disitu aku mulai dongkol dong. Kalau mau putus bilang aja, ngapain pake ngerjain segala."
"Ngelamarnya, di dalam becak?"
"Belum selesai. Ternyata becak itu gak kemana-mana, cuma muterin taman. Dalam hati aku pikir, ini becak udah disewa deh. Oke! Aku ladenin. Pokoknya nggak ada tangis-tangisan kalau itu yang dia harapkan saat putus nanti. Lalu becak itu berhenti di depan warung siomay."
"Ngahahaha, pasti makannya di sana. Dengan tampilan yang romatis abis gitu. Wahahahaha." Aku nggak bisa tahan lagi.
"Bener banget. Emang sih, siomay itu favoritku tapi nggak begitu juga kali. Berasa badut tau nggak, ditontonin orang yang pada makan di sana juga yang lagi ngantri nungguin siomay." Masih ada sedikit kesal di sirat matanya walau terkesan geli sendiri.
"Lalu...ada beberapa pengamen dateng pas di meja kami. Aduh, rasanya pas didatengin itu bueteeek banget. Pengen ngusir tapi aku tahan-tahan, habisnya mereka dateng pas suasananya nggak enak. Kalau nggak sedang dongkol mah, oke-oke aja."
"Ah, paling pengamen itu juga disewa." Aku asal tebak.
"Ho oh. Tapi yang bikin nyess itu, pas salah satu pengamen itu nyanyiin lagu All of Me. Itu lho, lagu yang beberapa hari belakangan sering banget diputer di radio-radio. Pas lagu itu dinyanyiin, rasanya sedikit ke-distract kalau si Rendi sedang nyebelin."
"Oh John Legend. Aww so switnya. 'cause aaaaall of me loves aaaall of you...love your curves and all your edges..all your perfect imperfections.." Malah nyanyi.
"Nah itu. Pas itulah, aku dilamar. Entah apa kata-kata pembukanya, nge-blank gitu saking harunya. Aku cuma inget dia bilang, daripada kita begini terus, toh sebenarnya aku udah yakin kita bisa sama-sama. Gimana kalau kita nikah aja."
"Oemji~" Aku menutup mulutku dengan kedua tangan seolah-olah bisa melihat bagaimana kejadian yang benar-benar romantis itu terjadi.
"Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Aku hanya mengangguk-angguk." Matanya mulai berkaca, ada kebahagiaan besar yang nggak terbendung di seluruh ekspresinya. "Dan nangis kejer. Aku bilang padanya, kamu benar-benar ngerjain aku. Dan seisi warung jadi rame, penuh tepuk tangan dan siulan. Malah ada yang foto-foto. Berasa baru selesai konser."
"..."
"..."
"Eh tau gitu, aku nggak akan kasih pinjem dressku."
"Ih kok gitu. Nggak ikhlas banget."
"Tau gitu aku kasih sekalian, mihihihihi..."
"Ah Ra....makasih tapi ya. Dressmu benar-benar manis. Dress itu seolah-olah jadi pembawa keberuntungan."
"Ah bisa aja kamu, Mbak." Aku rela banget dress itu berpindah tangan ke dia.
"Kira-kira Bapak sama Ibu udah tidur belum ya, jam segini? Ntar aku telpon deh. Pekan depan Rendi rencananya mau ajak Ayah dan Ibunya ke rumah kita buat minta aku, hmm restu."
"Ayok gih, buruan telpon." Ada rasa senang sekaligus sedih. Aku senang karena dia segera mendapatkan jodohnya tapi sedih juga karena aku bakal sendiri deh. Sedih juga karena, aku kapan ya ada yang ngelamar. Halah.
***
Dua minggu kemudian
"Kalian terpilih untuk studi banding ke luar negeri untuk dua minggu. Dari sepuluh orang yang akan berangkat, masing-masing akan ditempatkan di tiap negara yang berbeda." Bos di kantor berkata dengan santai saat rapat digelar.
"Di tangan saya ini sudah ada surat tugas dari pusat untuk memberangkatkan kalian. Semua kebutuhan kalian ditanggung perusahaan. Kalian hanya melaporkan sesuai yang ada pada urutan daftar secara berkala." Asisten bos, Mas Bima, melanjutkan penjelasan.
Perusahaan tempatku bekerja adalah perusahaan cabang yang berkonsentrasi di bidang energi terbarukan. Bukan hal yang baru lagi untuk setiap karyawan mendapatkan tugas ke luar daerah dan mencari informasi sebanyaknya untuk pengembangan listrik di daerah tersebut. Tapi kali ini luar negeri. Kesempatan bagus. Sekali melompat eh mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Banyak hal nantinya yang akan bisa aku ubek-ubek di sana. Asik.
"Jadi, kalian akan berangkat dua minggu dari sekarang?"
Apa? Dua minggu lagi? Pernikahan si Mbak kan tiga minggu lagi. Segera kubuka surat tugas yang ada di dalam amplop. Benar, tepatnya lima hari sebelum pernikahan. Duh, gimana ini.
***
"Apa? Ke Inggris tanggal enam belas? Aku tanggal dua puluh satu, lho."
"..." Aku bingung gimana cara menjelaskannya. Aku juga merasa berat, tapi ini kesempatan satu-satunya.
"Ra?"
"Ya gimana dong, keduanya penting. Tapi kalau ini aku nggak ikut, aku nggak tau kapan akan ada kesempatan lagi. Lagipula kalaupun ada lagi itu entah kapan adanya. Iya kalau kontrakku diperpanjang. Dan belum tentu aku terpilih lagi, karena pasti akan dipilih yang lain atau bisa saja untuk karyawan baru." Kok aku gini sih. Sok bener ngomongin kerjaan yang biasanya biasa aja.
"Tapi ini nikahan aku. Nggak bisa pending?" Wajah memelasnya kok malah membuatku kesal.
"Nggak bisa, itu uang kantor. Aku harus ganti semuanya karena akomodasi semua udah diregistrasi atas namaku." Jujur aku agak sebal dengan perusahaan dan aku sebal kalau terdesak begini sementara nggak mau ngertiin aku. Aku benar-benar merasa bersalah padanya. Tapi kata maaf pun aku rasanya belum ikhlas buat ngucapinnya. Entahlah.
"Kamu egois ya. Kamu nggak ngerti itu kan penting banget. Aku mau semua ada di sana. Lebih-lebih kamu, Ra."
"Kali ini aja, tolong ini kesempatan buatku. Mungkin nggak berarti buatmu, tapi buatku ini adalah hal yang aku suka dan kuseriusin selama ini. Dan egois? Selama ini APA SIH YANG ENGGAK BUATMU, MBAK? Kalau dipikir sebenarnya Mbak juga egois. Aku lebih banyak nurut apa kata, Mbak. Hanya saja kamu sering nggak mau tau. Kamu selalu membenarkan apa yang kamu anggap benar. Sering aku mengalah buatmu, Mbak." Dia mulai menangis tapi sudah terlanjur keluar, sepertinya kata-kataku susah berhenti untuk sekarang. Aku hanya ingin dia mendengarkan walau caraku sudah nggak terkendali. Keterlaluan.
Walau dia selalu terlihat bersemangat dan kuat, tapi sebanarnya aku bisa merasakan hatinya begitu lembut. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahannya, dia pasti lebih sensitif dan khawatir. Tapi aku nggak bisa berhenti.
"..."
"Kamu keterlaluan, Mbak." Harusnya kata-kata itu buatku.
PLAK!!
***
Di meja makan, suasana begitu sunyi dan dingin. Bahkan suara detak jam dinding sampai terdengar. Aku melirik sekilas ke arahnya.
"Jadi, gimana kalau hanimunnya ke sana? Nyusulin aku." Mencoba membesarkan hatinya dengan menggodanya. Aku sudah nggak kesal lagi.
Dia berhenti menyibukkan tangannya dari sendok di piringnya. Matanya lalu terbelalak ke arahku.
"Mmm....mau bayarin? okelah kalau gitu."
"Hahahahahaha enggak. Minta donk sama si itu."
"Itu..itu... Rendi. Mas Rendi."
***
SELESAI
"Ih, sebut apaan lagi?" Kataku sambil memasang wajah datar dan membiarkannya menyambungkan kabel USB pada netbook-ku untuk men-charge ponselnya, sementara aku mencomot beberapa potong kripik kentang Mister Potato dari bungkusnya dan segera mengunyahnya.
Aku tahu, kalau "dek" sudah muncul dari mulutnya, pasti ada maunya yang lain.
"Hmm...pinjam baju dong, buat ntar malam."
"Ya pilih aja sana, tho. Pake bilang dek segala, cuma beda dua taun doang. Sok tua ah. Biasanya juga pas mau pake baru bilang." Aku mencoba untuk tetap fokus pada laporan yang sedang kubaca ulang tanpa mengalihkan pandangan dari monitor.
"Yang itu tapi, yang di kotak. Di dalam plastik di atas mejamu."
"Kotak?" Perhatianku teralihkan dari monitor dan berpikir sejenak. "Uwenak'e! Itu kan masih baru. Kemarin ini, MBAK. Dan itu bukan baju, tapi dress!" Yap, di-capslock dan blod. Penekanan tanda protes bin nggumun alias heran.....deh. Buyar sudah konsentrasiku. Seandainya tanganku nggak sibuk memasukkan kripik kentang ke mulut, sudah kucubiti dia.
"Yaaaa itu, dress yang manis itu. Yayaya?"
"..." Menatapnya lurus sambil tetap mengunyah.
"Ntar gantinya, mau apa aja bilang deh...asal jangan seharga dress-mu itu aja. Anggap aja uang sewa."
"Enak aja nyewa, salon kalee. Lemarimu itu lebih banyak koleksi dress-nya deh daripada punyaku. Lagian, ada acara apa sih ntar malam, kok dadakan segala."
Dia hanya tersenyum lebay, from ear to ear...dia tahu kalau aku "pasti" bersedia meminjamkan dress itu dan segera berlari riang ke kamarku.
"Apa apa apa?" Aku penasaran dan mengikutinya ke kamar.
***
Malam hari, sepulang Mbak dari "acaranya".
Di kamarnya aku rebahan sambil memainkan game di ponsel. Dari pantulan cermin meja rias, dia terlihat membersihkan sisa riasan pada wajahnya sambil senyum-senyum sendiri. Setelah itu dia beranjak menuju kamar mandi dan mulai mencuci wajahnya dengan cairan sabun pembersih wajah.
Wajahnya terlihat segar dengan seluruh rambutnya diikat ke atas dengan bandana menahan poni itu untuk menutupi jidat jenongnya. Sambil senyum-senyum, nyengir lebih tepatnya, dia duduk di pinggiran tempat tidur dan menyilangkan kakinya. Kemudian memeluk kedua lututnya, melepaskan pelukan pada lututnya lagi. Ekor mataku memaksa mataku melirik tingkahnya, mengalihkan perhatian dari game di ponselku.
"What?"
"..." Dia masih nyengir, lalu sedetik kemudian mengatupkan kedua bibirnya seolah ingin menelannya.
"Apa?"
Karena nggak ada tanggapan, ku melanjutkan gameku.
"Dua bulan lagi aku menikah."
"WHAT? AGHH!!" Pletak. Ponsel lolos dari genggamanku dan mendarat sembarangan di wajah. "Si itu ngelamar? Ciyus?"
"The one and only. Siapa lagi. Namanya Rendi, bukan si itu." Protesnya sambil memonyongkan bibirnya.
"Mbaaaaak akhirnya. Syukurlah, selamat ya." Aku segera duduk dan berhambur ke pelukannya.
"Aku seneng banget. Aku udah ada feeling dia bakal ngelamar karena sebelum janjian makan malam tadi aku diminta pakai pakaian yang paling cantik menurutku." Dia mulai bercerita.
"Tapi di mobil dia malah diem aja, nyetel musik yang galau pula. Wah jangan-jangan feelingku salah. Aku sempet mikir, mau minta putus kali ya. Aku tanya dong ke dia, ada apa sih, aku ada salah ya...kok kamu diem aja. Lagunya juga nggak enak. Dia cuma bilang nggak ada apa-apa kok. Nah pas di depan taman, eh dianya malah berhenti. Dia bukain pintuku minta aku keluar tapi gak kasih tangannya." Gayanya memperagakan bagaimana Rendi terkesan cuek.
"Lalu manggil becak."
"Becak? Terus terus."
"Terus, ya aku tanya ngapain kita naik becak. Aku pakai gaun, lho. Gitu deh. Tapi dia bilang, udah naik aja sambil bantuin pegang tanganku sampai aku duduk. Disitu aku mulai dongkol dong. Kalau mau putus bilang aja, ngapain pake ngerjain segala."
"Ngelamarnya, di dalam becak?"
"Belum selesai. Ternyata becak itu gak kemana-mana, cuma muterin taman. Dalam hati aku pikir, ini becak udah disewa deh. Oke! Aku ladenin. Pokoknya nggak ada tangis-tangisan kalau itu yang dia harapkan saat putus nanti. Lalu becak itu berhenti di depan warung siomay."
"Ngahahaha, pasti makannya di sana. Dengan tampilan yang romatis abis gitu. Wahahahaha." Aku nggak bisa tahan lagi.
"Bener banget. Emang sih, siomay itu favoritku tapi nggak begitu juga kali. Berasa badut tau nggak, ditontonin orang yang pada makan di sana juga yang lagi ngantri nungguin siomay." Masih ada sedikit kesal di sirat matanya walau terkesan geli sendiri.
"Lalu...ada beberapa pengamen dateng pas di meja kami. Aduh, rasanya pas didatengin itu bueteeek banget. Pengen ngusir tapi aku tahan-tahan, habisnya mereka dateng pas suasananya nggak enak. Kalau nggak sedang dongkol mah, oke-oke aja."
"Ah, paling pengamen itu juga disewa." Aku asal tebak.
"Ho oh. Tapi yang bikin nyess itu, pas salah satu pengamen itu nyanyiin lagu All of Me. Itu lho, lagu yang beberapa hari belakangan sering banget diputer di radio-radio. Pas lagu itu dinyanyiin, rasanya sedikit ke-distract kalau si Rendi sedang nyebelin."
"Oh John Legend. Aww so switnya. 'cause aaaaall of me loves aaaall of you...love your curves and all your edges..all your perfect imperfections.." Malah nyanyi.
"Nah itu. Pas itulah, aku dilamar. Entah apa kata-kata pembukanya, nge-blank gitu saking harunya. Aku cuma inget dia bilang, daripada kita begini terus, toh sebenarnya aku udah yakin kita bisa sama-sama. Gimana kalau kita nikah aja."
"Oemji~" Aku menutup mulutku dengan kedua tangan seolah-olah bisa melihat bagaimana kejadian yang benar-benar romantis itu terjadi.
"Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Aku hanya mengangguk-angguk." Matanya mulai berkaca, ada kebahagiaan besar yang nggak terbendung di seluruh ekspresinya. "Dan nangis kejer. Aku bilang padanya, kamu benar-benar ngerjain aku. Dan seisi warung jadi rame, penuh tepuk tangan dan siulan. Malah ada yang foto-foto. Berasa baru selesai konser."
"..."
"..."
"Eh tau gitu, aku nggak akan kasih pinjem dressku."
"Ih kok gitu. Nggak ikhlas banget."
"Tau gitu aku kasih sekalian, mihihihihi..."
"Ah Ra....makasih tapi ya. Dressmu benar-benar manis. Dress itu seolah-olah jadi pembawa keberuntungan."
"Ah bisa aja kamu, Mbak." Aku rela banget dress itu berpindah tangan ke dia.
"Kira-kira Bapak sama Ibu udah tidur belum ya, jam segini? Ntar aku telpon deh. Pekan depan Rendi rencananya mau ajak Ayah dan Ibunya ke rumah kita buat minta aku, hmm restu."
"Ayok gih, buruan telpon." Ada rasa senang sekaligus sedih. Aku senang karena dia segera mendapatkan jodohnya tapi sedih juga karena aku bakal sendiri deh. Sedih juga karena, aku kapan ya ada yang ngelamar. Halah.
***
Dua minggu kemudian
"Kalian terpilih untuk studi banding ke luar negeri untuk dua minggu. Dari sepuluh orang yang akan berangkat, masing-masing akan ditempatkan di tiap negara yang berbeda." Bos di kantor berkata dengan santai saat rapat digelar.
"Di tangan saya ini sudah ada surat tugas dari pusat untuk memberangkatkan kalian. Semua kebutuhan kalian ditanggung perusahaan. Kalian hanya melaporkan sesuai yang ada pada urutan daftar secara berkala." Asisten bos, Mas Bima, melanjutkan penjelasan.
Perusahaan tempatku bekerja adalah perusahaan cabang yang berkonsentrasi di bidang energi terbarukan. Bukan hal yang baru lagi untuk setiap karyawan mendapatkan tugas ke luar daerah dan mencari informasi sebanyaknya untuk pengembangan listrik di daerah tersebut. Tapi kali ini luar negeri. Kesempatan bagus. Sekali melompat eh mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Banyak hal nantinya yang akan bisa aku ubek-ubek di sana. Asik.
"Jadi, kalian akan berangkat dua minggu dari sekarang?"
Apa? Dua minggu lagi? Pernikahan si Mbak kan tiga minggu lagi. Segera kubuka surat tugas yang ada di dalam amplop. Benar, tepatnya lima hari sebelum pernikahan. Duh, gimana ini.
***
"Apa? Ke Inggris tanggal enam belas? Aku tanggal dua puluh satu, lho."
"..." Aku bingung gimana cara menjelaskannya. Aku juga merasa berat, tapi ini kesempatan satu-satunya.
"Ra?"
"Ya gimana dong, keduanya penting. Tapi kalau ini aku nggak ikut, aku nggak tau kapan akan ada kesempatan lagi. Lagipula kalaupun ada lagi itu entah kapan adanya. Iya kalau kontrakku diperpanjang. Dan belum tentu aku terpilih lagi, karena pasti akan dipilih yang lain atau bisa saja untuk karyawan baru." Kok aku gini sih. Sok bener ngomongin kerjaan yang biasanya biasa aja.
"Tapi ini nikahan aku. Nggak bisa pending?" Wajah memelasnya kok malah membuatku kesal.
"Nggak bisa, itu uang kantor. Aku harus ganti semuanya karena akomodasi semua udah diregistrasi atas namaku." Jujur aku agak sebal dengan perusahaan dan aku sebal kalau terdesak begini sementara nggak mau ngertiin aku. Aku benar-benar merasa bersalah padanya. Tapi kata maaf pun aku rasanya belum ikhlas buat ngucapinnya. Entahlah.
"Kamu egois ya. Kamu nggak ngerti itu kan penting banget. Aku mau semua ada di sana. Lebih-lebih kamu, Ra."
"Kali ini aja, tolong ini kesempatan buatku. Mungkin nggak berarti buatmu, tapi buatku ini adalah hal yang aku suka dan kuseriusin selama ini. Dan egois? Selama ini APA SIH YANG ENGGAK BUATMU, MBAK? Kalau dipikir sebenarnya Mbak juga egois. Aku lebih banyak nurut apa kata, Mbak. Hanya saja kamu sering nggak mau tau. Kamu selalu membenarkan apa yang kamu anggap benar. Sering aku mengalah buatmu, Mbak." Dia mulai menangis tapi sudah terlanjur keluar, sepertinya kata-kataku susah berhenti untuk sekarang. Aku hanya ingin dia mendengarkan walau caraku sudah nggak terkendali. Keterlaluan.
Walau dia selalu terlihat bersemangat dan kuat, tapi sebanarnya aku bisa merasakan hatinya begitu lembut. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahannya, dia pasti lebih sensitif dan khawatir. Tapi aku nggak bisa berhenti.
"..."
"Kamu keterlaluan, Mbak." Harusnya kata-kata itu buatku.
PLAK!!
***
Di meja makan, suasana begitu sunyi dan dingin. Bahkan suara detak jam dinding sampai terdengar. Aku melirik sekilas ke arahnya.
"Jadi, gimana kalau hanimunnya ke sana? Nyusulin aku." Mencoba membesarkan hatinya dengan menggodanya. Aku sudah nggak kesal lagi.
Dia berhenti menyibukkan tangannya dari sendok di piringnya. Matanya lalu terbelalak ke arahku.
"Mmm....mau bayarin? okelah kalau gitu."
"Hahahahahaha enggak. Minta donk sama si itu."
"Itu..itu... Rendi. Mas Rendi."
***
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Welcome blogger.... ^_^
Ber-komen-lah dengan bahasa yang baik & no SARA.