Minggu, 10 Mei 2015

Paman dimana... Samchun odiesso... (2)


Dua anak kumal dan mencurigakan, begitulah kesan pertamaku pada dua kakak beradik Rosa dan Roni. Yah, di jaman sekarang yang apapun serba susah dimana nggak menutup kemungkinan juga semakin banyak pula tindak kejahatan dengan menggunakan modus yang beragam, salah satunya mungkin saja berpura-pura menjadi orang yang membuat korban merasa iba dan setelahnya...ah sungguh, aku nggak sanggup membayangkan kelanjutannya. Begitulah kesan pertamaku pada mereka. Khawatirku ini, berlebihan bukan?
Maklum saja, sehari-hari saat suami dan anak-anakku berangkat kerja dan sekolah, rumah seolah terasa begitu lapang. Sungguh menyebalkan.

Suatu kali aku pernah curhat pada suami.

"Yang, rumah ini sungguh nggak menyenangkan kalau nggak ada "keributan" di dalamnya."

"Bilang aja takut."

"Bukannya takut, tapi agak khawatir. Sepi, ih." Aku hanya senyum-senyum sambil mencubitinya. "Serius kok dibercandain."

"Ya..ya..takut."

"Ih."

Ah..suami dan aku memutuskan, Rosa dan Roni tinggal di rumah kami sampai mereka bisa bertemu dengan pamannya, Sigit alias Bejo, setelah ayah mereka meninggal beberapa bulan lalu. Bagas dan Bejo adalah sahabat suamiku. Lagipula kami sungguh nggak tega melihat anak-anak itu harus terlantar di luar sana tanpa perlindungan.



Keesokan harinya


"Dani... Andi.. Roni, sarapan!" Sedikit kunaikkan volume suaraku memanggil mereka yang ada di kamar di lantai 

dua sambil mengaduk nasi dalam wajan yang hampir jadi.

"Ros.." Panggilku pada Rosa yang sedang memotong timun.

"Ya, tante."

"Tolong ambilin tante mangkuk besar yang ada di sana, sambil menunjuk rak piring di belakang Rosa.

"Yang ini, Tante?"

"Yang di sebelahnya."

"Ini, Tante." Segera Rosa menyerahkan mangkuk padaku dan kembali pada kesibukannya.

"Maksih ya, Nak. Tante seneng banget ada yang nemenin di dapur pagi-pagi gini." Kataku disambut senyum riang Rosa.

"Iya Tante, Rosa seneng bisa bisa bantuin apa aja. Rosa dan Roni sangat berterima kasih karena dibolehin tinggal di sini sama Om dan Tante."

"Udah ah, jangan sedih gitu ngomongnya. Yuk, makan dulu."

"Iya, Tante.

Nggak ada yang serius dibicarakan tentang pencarian Paman Rosa dan Roni selama kami sarapan hari ini, nanti saja, masih terlalu pagi. Biarkan perasaan Rosa dan Roni merasa lebih nyaman dan nggak tergesa. Masih ada waktu nanti saat semua kembali berkumpul.
Lebih baik berkenalan saja dulu karena semalam Rosa dan Roni tidur cepat, pasti kelelahan seharian berjalan mencari alamat. Rosa tidur di kamar tamu yang ada di lantai dasar, sementara Roni tidur bersama Andi di lantai dua.

Suami dan anak-anakku telah berangkat, tinggal kami bertiga.

"Rosa umur berapa?"

"Lima belas, Tante."

"Oh, Dani juga hampir lima belas dua bulan lagi. Kalau Roni?" Mataku beralih pada Roni yang asik mewarnai di ruang tengah.

"Roni tujuh."

"Hmm, Andi delapan." Kulihat Rosa mengangguk-angguk canggung. Mungkin Rosa merasa diinterogasi karena hanya berdua denganku dan nggak sesantai tadi saat sarapan.

"Santai saja sama Tante. Tante mah gitu orangnya, mungkin agak ceplas-ceplos dan kepo, ya. Hahahaha." Aku meyakinkannya kalau aku ingin lebih mengenal dekat bukannya menaruh curiga.

"Ah, Tante bisa aja. Nggak apa-apa kok." Keliatannya Rosa mulai santai. 

"Kalau boleh Tante tanya, Ibunya...?" Tanyaku hati-hati.

"Ibu, nggak ada. Tiga tahun lalu Ibu pergi selamanya karena kecelakaan." Seolah bayangan sang Ibu kembali muncul dalam ingatan Rosa, dia pun tertunduk dan sedikit bergetar. Aku segera memeluknya dan meminta maaf.

"Maafin Tante ya, kalau terlalu cepat bertanya." Rosa memeluk erat lalu beberpa saat kemudian segera melepaskan pelukan. Aku bisa merasakan sesaat tadi Rosa menyeka matanya.

"Nggak apa-apa Tante. Rosa nggak sedih kok, hanya teringat. Ibu itu sungguh Ibu yang baik dan kata Ibu, kalau sesuatu yang baik itu jangan ditangisi lama-lama. Rosa jadi tambah kangen karena Tante memeluk Rosa. Sikap Tante juga hangat seperti Ibu. Walau Tante sangat berbeda dari Ibu, tapi Rosa bisa merasakan sikap hangat Tante." Tanpa sadar aku memeluk Rosa kembali dan membelai kepalanya. Panas terasa di mataku.

Seharian kami banyak melakukan kegiatan bersama, membuat kue, menjemur pakaian, mengobrol ini itu. Sorenya setelah anak-anak pulang, bersama Rosa dan Roni, aku mencarikannya beberapa pakaian dan perlengkapan yang dibutuhkan mereka. Aku sengaja nggak memberitahu rencanaku, karena pasti dengan sungkan Rosa akan menolaknya. Di supermarket, Rosa sempat menolak saat aku mulai memilihkan pakaian. Tapi aku tahu dia hanya sungkan. Aku pun pernah seusianya, senang melihat bermacam benda-benda cantik dan lucu. Roni justru lebih bebas memilih. Akhirnya beberapa potong pakian dan sebuah couple tee buat Ibu dan anak berhasil masuk kantong belanjaan. Aaaah senangnya...mungkin begini rasanya punya anak perempuan.

"Dan...antar ini ke Rosa." Awalnya aku ingin memberikan sendiri pada Rosa begitu selesai memilih perlengkapan Rosa yang sebelumnya masih tercampur dengan perlengkapan lain, tapi tiba-tiba "peringatan" datang. Sebelum "serangan" terjadi, aku harus bergegas. Duh mules banget. Kamar mandi!

***

Tante baik banget Ibu, Ayah...walau baru bertemu, Rosa dan Roni diterima dengan baik dan nggak kekurangan apapun. Semoga dengan bantuan dari keluarga ini, Rosa dan Roni bisa segera bertemu Paman, ya Yah. Aku memandang foto keluarga satu-satunya yang selamat dari kebakaran tempat tinggal kami beberapa waktu lalu. Hanya foto keluarga, foto Ayah dan sahabat-sahabatnya serta alamat terakhir sahabat-sahabat Ayah yang tersisa. Ketiga benda itu selalu kubawa kemanapun sejak pencarian keberadaan Paman Bejo beberapa bulan belakangan setelah kepergian Ayah.

Entah bagaimana, rumah peninggalan Ayah bisa terbakar. Aku terlalu takut kembali ke rumah karena sudah nggak ada tempat bersembunyi lagi. Aku takut jika suatu saat ada pihak dinas sosial yang membawa kami ke panti asuhan lalu ada yang mengadopsi dan harus berpisah dari Roni dan aku nggak punya banyak waktu untuk mencari Paman Bejo. Karenanya, aku dan Roni hidup menggelandang dan bersembunyi. Untuk makan, aku berusaha menjadi kuli angkut sebisanya di pasar-pasar. Karenanya walau badanku kurus, tapi tenagaku cukup kuat. Namun kadang jika sudah nggak tahan, aku terpaksa meminta belas kasihan orang. Itupun nggak jarang harus berebut makanan atau makanan dirampas oleh gelandangan lain yang lebih sudah memiliki kelompok sendiri. Aku nggak mau sampai tertangkap dan masuk di kelompok mana pun, karena aku harus fokus mencari Paman Bejo. Paman Bejo....Paman dimana?     

Tok tok tok...cekrek

"Si.." Aku menoleh. "Lho, aku kan belum jawab?" Jawabku kaget karena Dani, anak pertama Tante, muncul 

begitu saja dari balik pintu.

"Apa perlu diulang? Nih...dari Mama." Tanpa menunggu jawabanku, Dani melangkah ke dalam kamar dan menyerahkan plastik besar padaku. Yah setidaknya dia nggak meletakkan plastik besar itu dan pergi begitu saja. Mungkin mulutnya agak nyebelin, tapi sikapnya masih cukup baik.

"Foto keluarga?" Dani sempat melihat selembar foto di atas meja. "Ini kamu? Hahahaha...umur berapa ini?". Walaupun agak lecek, tapi masih cukup jelas.

"Iya itu aku. Itu diambil waktu Roni baru bisa berjalan di umurnya yang hampir setahun. Kenapa, ketawa?" Balasku singkat dan sewot.

"Nggak apa-apa. Mirip Ayahmu. Nggak jelek." Dani melihat bergantian antara foto dan wajahku. "Dulu, di sini..." Katanya melanjutkan sambil memandang lagi fotoku itu.

"Jadi sekarang...? Biarin."

"Nggak kok, nggak salah...nggak, jelek." Dani meletakkan fotoku di atas meja kembali sambil mengangguk-angguk melihatku sekilas sambil menaikkan sebelah ujung bibirnya sambil berjalan ke arah pintu kamar sambil melambaikan tangannya, "Daaa...da." Kemudian mengelus dadanya dan menutupnya dari luar. Lho? Ralat, sikapnya juga nyebelin.

Dih, apaan. Biarin jelek, bodo amat. Tapi rasanya kok sebel ya, mau nangis rasanya. Aku tahu aku memang nggak cantik-cantik amat, tapi aku nggak ngerasa jelek. Menurutku Ibu cantik dan Ayah ganteng. Jadi aku yakin aku nggak jelek. Huh. Hih? Ngapain sih ditanggepin.

"Hayo ngapain dadah dadah segala. Banyak gaya. Pasti habis usil, ya." Terdengar suara Tante di luar dibarengi suara Dani yang mengaduh dan kesal karena sepertinya dijewer. Sukurin. Aku hanya tersenyum. Terima kasih Tante, Dani emang harus digituin.

"Ros, ayok ke ruang tengah. Kita obrolin tentang Paman Bejo." Tante membuka pintu kamar setelah mengetuk dua kali.

"Iya Tante." Segera aku menghampiri Tante yang menungguku di pintu.

"Om bilang, tadi berhasil menghubungi sahabat-sahabatnya yang mungkin tahu keberadaan Paman Bejo. Tapi Tante belum tahu bagaimana hasilnya. Tante langsung kemari. Oya, biarkan saja Roni tidur, kita langsung ke ruang tengah, yuk"

Aku mengangguk sambil terus memandang Tante. Tangan Tante nggak melepas rangkulannya dari lenganku. Kami melangkah menuju ruang tengah dimana Om dan Dani berada. Semoga ada kabar baik.

"Ayo sini, Ros." Kata Om mempersilakan duduk. Aku duduk kemudian diikuti Tante di sebelahku.

"Tadi Om sudah meminta bantuan kenalan Om di kepolisian dan meminta dicarikan keberadaan Paman Bejo. Mungkin seminggu paling cepat baru ada kabar lagi."

"Iya, Om. Terima kasih."

"Bagaimanapun juga Ayah dan Paman Bejo adalah sahabat Om. Kalau jelas keadaannya nggak jelas begini, Om merasa harus bisa menemukan keberadaan Paman Bejo. Om juga ingin segera mengetahui kabarnya. Kita tunggu saja ya." Kata-katanya menyiratkan otpimisme.

Aku merasa sangat lega dengan adanya bantuan orang dewasa yang setidaknya menggunakan cara yang lebih aman daripada menggunakan caraku. Walau aku merasa juga masih tetap ingin mencari tapi untuk sekarang aku percayakan pada pihak berwajib dan berserah pada keputusan Tuhan.

***

Sudah lebih dua minggu belum ada kabar tentang keberadaan Paman Bejo. Aku mulai nggak nyaman, karena aku merasa kami adalah beban karena menumpang. Tante memang bilang anggap saja rumah sendiri dan Dani juga bersikap lebih baik, bahkan sudah nggak segan-segan bercanda denganku ataupun dengan Roni. Intinya, aku dan Roni sudah bukan dianggap orang asing, walau sebenarnya mereka sudah terbuka menerima kami sejak mereka tahu identitas kami. Mengajak kami rekreasi, menonton bersama di ruang keluarga bahkan membahas hal-hal sepele dan sejenisnya. Tapi aku masih merasa nggak enak. Aku takut dengan rasa nyaman dan betahku yang bertambah ini, aku jadi nggak ingin pergi dari sini. Rasanya Tante sudah menjadi ibuku sendiri. Ah, nggak boleh. Ibu.... Ayah....

Rasanya aku ingin segera bertemu Paman Bejo sehingga tidak merasa menjadi beban dalam keluarga ini.

Apa aku harus ungkapkan keresahanku pada Tante? Atau diam-diam mulai mencari Paman lagi ya? Terakhir Om memberi kabar tentang kemungkinan keberadaan Paman. Seseorang yang memiliki usaha sukses dengan ciri-ciri yang mirip dengan Paman di sebuah dusun jauh di luar daerah.



Bersambung...
  


1 komentar:

  1. hahahaha... cm mau komen dikit ttg bagian pertama, sumpah geli saya baca kata... "Yang,...." kkkkkk

    BalasHapus

Welcome blogger.... ^_^
Ber-komen-lah dengan bahasa yang baik & no SARA.