Aahhh hausnya. Aww, silau. Kucoba membuka mata perlahan, rasanya berat sekali dan badan ini rasanya juga lelah sampai sulit rasanya untuk digerakkan. Kenapa aku terbaring? Kenapa di pergelangan tangan kiriku ada jarum infus? Kucoba menggerakkan kepala untuk melihat dengan sedikit tenaga yang kupunya. Kulihat di samping kiri ranjangku Bunda duduk tertidur. Bunda ngapain tidur di sofa? Kuarahkan lagi pandanganku ke seluruh ruangan. Di mana ini? Hah, siapa orang-orang ini?Dan siapa orang ini, kenapa dia menggenggam telapak tangan kananku? Sayangnya karena seluruh tubuh rasanya berat, aku bahkan enggak sanggup untuk bersuara. Aku hanya memandang dengan bingung.
“Hoh, kamu sadar!” Kata orang ini terkejut sekaligus terlihat lega dan senang.
“Alhamdulillah! Tante. Tante. Dia sudah sadar.” Kata seorang anak perempuan salah satu dari orang-orang ini, membangunkan Bunda dengan lembut.
“Aku panggil dokter.” Kata anak perempuan yang lain bergegas dan dua lainnya menghampiriku. Terlihat jelas mata mereka memerah dan sembab sehabis menangis.
Ini kenapa ya?
“Oh, Nak…. Alhamdulillah kamu udah bangun.” Bunda tersenyum tapi menangis. Aku berusaha menegakkan kepala, tapi sangat berat dan terasa sakit.
“Udah…udah..jangan gerak dulu ya, kamu pasti capek. Tiduran saja.” Lanjut Bunda sambil menciumi dan mengusap-usap kepalaku. Aku hanya menatap Bunda dan tetap bertanya-tanya dalam hati, ini kenapa ya?
Kembali ku melihat orang ini dan dia belum melepas genggamannya. Kenapa orang ini diam saja dan enggak ngomong apapun? Hanya terlihat lega sekaligus khawatir di raut wajahnya.
Siapa kamu? Who are you? Nuguseyo? Hah, bahasa apa yang barusan. Ya, Alloh ada apa ini?
Seorang dokter wanita datang menghampiriku didampingi seorang perawat dan segera memeriksaku sambil tersenyum. Oh, sakit apa? Bunda bergegas agak menjauh dari ranjangku dan terdengar sedang menelpon.
“Gimana rasanya?” Kata dokter itu kemudian setelah melakukan pemeriksaan.
“Haus.” Oh, akhirnya aku bisa mengeluarkan suara walaupun belum bisa menggerakkan satupun anggota badan yang lain.
“Oh, ini. Pelan-pelan aja yah…” Kata salah satu anak perempuan itu mengambilkan minuman dan meletakkan sedotan dengan hati-hati di mulutku. Dokter tadi memberi ruang.
“Makasih.” Kataku pada anak perempuan itu. Kulihat lagi ke dokter itu yang sedang menjelaskan sesuatu pada perawat agar menulis sesuatu pada rekam medis yang dibawa perawat tadi.
“Bunda….” Kupanggil Bunda begitu kulihat sudah selesai menelpon.
“Ya, mau apa? Tuh, temen-temennya dari kemarin nungguin kamu bangun.” Bunda segera menanggapi. Orang-orang ini melihatku dengan sangat senang.
“Mereka? Siapa?” Kataku penasaran, karena sedari tadi aku hanya berusaha tersenyum melihat mereka begitu antusias melihatku.
“Sebentar ya.” Dokter itu menyela dan kembali memeriksaku.
“Mari kita bicara di ruangan saya, Ibu.” Dokter itu melanjutkan dan pergi bersama Bunda meninggalkan aku dengan orang-orang ini. Mereka teman-temanku? Aku enggak ingat.
Mereka mulai mendekat.
“Kamu pasti kaget banget sampai enggak inget ma aku, Yola, Kinar? Dan emm itu Radit.” kata seorang dari mereka sambil memijat-mijat pelan tanganku.
“Udah….jangan banyak mikir dulu, istirahat aja.” Kata orang yang ternyata bernama Radit itu. Radit kemudian merapikan selimutku.
Aku hanya bisa diam memandang dan tersenyum sebagai reaksiku atas perkataan-perkataan mereka.
***
Di ruang dokter.
“Silahkan duduk. Begini, syukurlah masa kritisnya sudah lewat. Saya lihat perkembangannya setelah memantau dari kemarin sampai pasien sadar tadi, sudah sangat baik. Tapi seperti yang sudah diperkirakan, anak Ibu kehilangan sebagian ingatannya.” Dokter menjelaskan. Bunda enggak bisa menahan air matanya keluar dan hanya mengangguk-angguk.
“Ibu jangan khawatir, seperti yang sudah saya jelaskan juga sebelumnya keadaan itu hanya sementara akibat cidera dan trauma di bagian kepalanya. Segera begitu kondisi pasien membaik, memorinya pun akan perlahan kembali. Bisa seminggu atau sebulan atau secepatnya kami belum bisa memastikan. Tergantung perkembangan kondisi pasein, yang penting pasien harus dalam keadaan tenang.” Dokter menjelaskan dengan tenang yang membuat Bunda juga tenang walau air mata leganya masih enggak tertahankan.
“Terimakasih, Dokter.” Kata Bunda.
***
Biasa. Ah, paling gitu doang ceritanya. Begitulah pikiranku menilai sedari tadi pada deretan judul film terbaru di rak EDISI BULAN INI. Sebenarnya sih biasa saja, tapi entah kenapa aku enggak begitu berminat dengan judul-judul film bertema romantis dan sweet apalah itu. Aku benar-benar enggak habis pikir, jenis film “cengeng” seperti itu tiap bulannya selalu ada saja yang baru.
Jenis film yang aku suka itu kalau bukan berasal dari kisah nyata, persahabatan, misteri, horor ya komedi…emm okelah komedi romantis asal bukan murni romantis, kesannya iiiew de-ra-ma. Menurutku film-film romantis itu enggak masuk akal aja ceritanya, huh mana ada love at the first sight. Atau cinta masa kecil. Atau cinta si kaya dengan si miskin. Atau cinta si cantik dan si buruk rupa. Atau cinta si tampan dan si buruk rupa. Atau juga cinta karena utang piutang. Atau atau atau, ahhh pokoknya cerita cinta khas negeri dongeng. Akhir-akhir ini aku juga kurang berminat tuh dengan film-film horor yang beredar di negeri ini, karena selain pemainnya 4L alias lu lagi lu lagi juga karena buanyak adegan enggak sopan yang enggak mencerminkan budaya negeri kita yang seharusnya yaitu budaya ketimuran. Ah, kenapa juga dipikirin.
Plok. Seseorang menepuk kedua pundakku.
“Udah belom? Yang lain nungguin tuh, ntar kesorean lagi.” Oh, Dini rupanya.
“Kaget aku! Hehe udah nih, Din. Kita sewanya dua aja ya biar ntar enggak nonton doang. Ini ma ini, gimana?” Kutunjukkan pada Dini film bertema komedi romantis dan misteri.
“Eum! Up to you lah.” Dini mengangguk setuju.
Selesai membayar di kasir aku dan Dini bergegas menuju Kinar dan Yola yang sedang duduk di bangku depan tempat penyewaan film itu. Yola memberikan jus anggur yang belum sempat kuminum tadi karena aku harus menyewa film-film itu. Karena tentu saja makanan dan minuman enggak boleh dibawa masuk ke tempat penyewaan film. Kami berempat duduk santai sambil memperhatikan orang-orang lalu lalang. Tempat kami belanja memang sebuah kompleks pertokoan yang enggak jauh dari rumah Dini.
Akhirnya kami pun sampai di rumah Dini yang hanya berjarak sekitar 10 menit jalan kaki dari kompleks pertokoan. Jauh hari kami memang sudah merencanakan untuk menginap di rumah Dini sebagai perpisahan, karena hanya aku yang akan melanjutkan kuliah di sini. Dini diterima di Universitas Brawijaya, Kinar di UGM dan Yola di Universitas Hasanuddin. Berpisah dengan mereka tentunya antara sedih dan senang. Kami sudah akrab sejak kelas 1 SMA. Semua hal sudah kami lewati, dari tawa hingga rasa kesal di antara kami. Semua yang telah kami rasakan bersama selama ini membuat persahabatan kami menjadi kuat. Tapi kami harus “berpisah” begini ya itu tadi perasaanku antara sedih dan senang.
“Wah Ibu baru telepon, katanya Ibu sama Bapak malam ini nginep di rumah Eyang Uti. Besok siang mungkin baru pulang. Maklum sedang panen padi, jadi sibuk.” Kata Dini menutup pintu gerbang dan berjalan menuju pintu ruang tamu sambil mencari-cari kunci di tas kecilnya.
Rrr.. Rrr.. Rrr.. Bunyi dari HP Dini.
“Lah, Tio SMS malah bilang mau nginep di rumah temennya? Pokoknya enggak boleh, enak aja kita ditinggal cewek berempat.” Kata Dini sambil membalas SMS.
“Iya, Din…was-was nih. Walaupun Tio masih SMA tapi kan seenggaknya dia laki ada yang diandalkan buat jaga.” Sambar Kinar.
Rrr.. Rrr.. Rrr.. HP Dini bunyi lagi.
“Enggak janji katanya. Huuh, awas aja tuh anak besok. Laporin ma Ibu Bapak.” Kata Dini tambah kesal.
“Ah, udah enggak papa kan ada jagoan.” Kataku sambil mengepalkan telapak tangan dan mengangkat kepalan di depan wajah penuh yakin.
“Jagoan apa? Kerempeng gitu.” Yola menyambar sambil senyum-senyum.
“Ini bukan kerempeng, cuma kurang gemuk aja.” Kataku enggak mau kalah sambil memonyongkan bibir ke Yola.
Setelah masuk ke rumah Dini kami langsung menuju dapur dan membongkar belanjaan agar dapat segera memasak. Makan malam kami spaghetti. Dalam bungkusan belanjaan ada pasta dan saus bolognese, daging mentah yah walaupun di sausnya udah ada potongan daging tapi sedikit, bawang bombay, keju dan banyak camilan. Aku mulai mencari panci dan mengisinya dengan air untuk merebus pasta, kemudian menambahkan sedikit minyak goreng dan garam agar nantinya pasta enggak lengket dan ada rasa asinnya. Kunyalakan kompor gas dengan api sedang kemudian kunaikkan panci ke atas kompor. Kugenggam pasta dan kumasukkan ke dalam panci secara vertikal dan biarkan menyebar ke sekeliling panci. Nantinya pasta akan lentur sendiri dan bercampur sepenuhnya dengan air.
Sementara itu Kiran mencuci daging kemudian memotongnya kecil-kecil bentuk dadu, Yola mengupas bawang bombay dan mengirisnya, Dini memarut keju sambil sesekali memasukkan parutan-parutan keju ke mulutnya. Aku kembali memeriksa apakah pasta sudah cukup matang sambil mengambil sedikit ujung pasta untuk dilemparkan ke tembok. Ternyata pasta menempel di tembok. Aku segera mengangkat, menyaring dan meniriskannya di sebuah wadah. Kami benar-benar sibuk menyiapkan makan besar kami ini.
Giliran Dini mengambil wajan dan meletakkannya di atas kompor gas, kali ini cukup dengan api kecil. Pertama minyak dituangkan, kemudian irisan bawang bombay, lalu potongan daging aduk sebentar baru masukkan saus bolognese dan aduk lagi sebentar, baru pasta dicampurkan ke dalam campuran bumbu tadi. Dini kemudian mematikan api kompor gas tapi tetap mengaduk dan tadaaa jadi deh spaghetti instan kami. Yola mengambilkan mangkuk sayur yang agak besar sebagai tempat spaghetti, kemudian Dini menuangkannya ke dalam mangkuk tersebut dan Yola membawa mangkuk tersebut ke ruang TV. Kiran mengambil empat buah piring dan empat pasang sendok dan garpu dan membawanya juga ke ruang TV. Aku dan Dini baru menyusul ke ruang TV setelah aku mengambil air minum dalam teko dan Dini membawakan gelas.
Kami sukses kenyang dengan selamat dengan dua film habis ditonton. Rupanya spaghetti kami bersisa dan masih cukup untuk dua porsi lagi atau lebih.
“Sini, aku beresin dulu. Aku bawa ke dapur.” Kata Dini mengangkat mangkuk sayur berisi spaghetti sambil diikuti Kinar dengan membawa piring-piring kotor.
“AAAH!” Suara Dini dan Kinar hampir berbarengan enggak lama kemudian dari arah dapur.
“Ada apa? Hey!” Kataku agak takut.
“Ahhh enggak papa, Tio nih masuk-masuk enggak ada suara salamnya.” Kata Dini menjawab dari dapur. Dan Tio dapat bogem Dini di lengannya.
Enggak lama kemudian, mereka bertiga masuk ke ruang TV. Tio sudah membawa piring dengan segunung spaghetti. Melihat porsi dua orang sekaligus di piring Tio membuatku semakin kenyang.
“Katanya enggak pulang. Kenapa?” Tanya Yola.
“Yah, rencana berubah.” Jawab Tio sambil cuek dan memasukkan suap demi suap spaghetti ke mulutnya.
“Syukur deh lu pulang.” Dini tampak lega. Sambil meletakkan beberapa camilan buat Tio. Tio senang dan senyum-senyum.
“Dipikir-pikir, enggak rugi juga pulang. kenyang” Terlihat wajah Tio sumringah.
“Oke sip, kita-kita pindah ke kamar ya.” Ajak Kinar.
“Jangan ganggu ya, Yo!” Tambah Kinar. Kamipun beranjak.
“Oke bos.” Jawab Tio.
“Yo!” Kupanggil Tio.
“Nih…” Kulemparkan remote TV ke Tio begitu Tio menoleh. Tio yang mulutnya sibuk mengunyah menangkap remote tersebut dengan sigap.
***
Di kamar Dini.
“Hey you…” Yola tiba-tiba menunjukku saat kami sedang menertawakan hal lucu yang baru saja diceritakan Dini.
“Ahahahaha…..ha, apa?” Jawabku spontan masih geli mengingat cerita Dini.
“Gimana Radit? Kenapa kamu baru bilang tadi di sekolah ke kita-kita sih….itupun cuma bilang kalau kamu suka.”
“Yaaaaa, gitu cuma suka. Memangnya kenapa, enggak boleh?”
“Boleh sih cuma suka, tapi sukanya gimana, kenapa dan sejak kapan?” Yola mengejarku dengan pertanyaan.
“Suka aja, entah ya sejak kapan. Kalau karena cakep sih banyak yang cakep. Kalau baik, semua anak di sekolah kan baik. Ah, lagipula alasan suka itu kayaknya hanya dibuat-buat, toh lama-lama aku enggak menemukan alasan yang jelas kenapa bisa suka. Iya juga ya, kenapa bisa suka sama dia?” Aku mulai berpikir.
“Lama-lama? Emang sejak kapan sih?” Giliaran Kinar yang penasaran.
“Hemm, mungkin sejak MOS atau semester dua kelas sepuluh kemarin. Entahlah, tiba-tiba aja gitu.”
“Terus, Radit tau? Kayaknya enggak deh. Ke kita aja baru bilang dan kita udah selesai sekolah. Atau kamu bakal kasih tau? Hemm, kayaknya enggak juga. Ya, kan? Pasti iya” Tebak Yola dan benar.
Aku hanya mengangguk. “Iya, dia enggak tau dan aku enggak mau kasih tau. Kalau aku kasih tau, sama juga artinya aku seolah-olah nembak dia sementara aku enggak berpikiran untuk nembak. Buat apa? Toh perasaannya bagaimana aku enggak tau, pokoknya aku enggak mau ganggu perasaannya orang. Kalu dia jadi enggak suka dan jadi enggak bersikap biasa seperti biasanya gimana? Atau dia jadi suka karena tau ada orang yang suka sama dia?” Lanjutku menunjuk muka sendiri dengan jari dan menopang dagu dengan jari dan jempol sambil menatap lurus pada Yola.
“Ah, pokoknya aku enggak mau repot mikirin itu. Udahlah….” Bujukku.
“Kayaknya enggak deh.” Dini yang sedari tadi diam saja akhirnya ikut-ikutan penasaran.
“Apanya?” Kuarahkan pandangan dan bertanya pada Dini.
“Mungkin dia juga suka. Walaupun beda kelas, tapi kan kelasnya disebelah kita. Dia sering nyapa kamu duluan baru ke kita, walaupun cuma sekedar nyapa sih.” Kata Dini.
“Ya iyalah, karena dia memang duluan kenal sama aku baru kalian gara-gara bantuin aku cari bengkel pas ban belakang sepedaku kempes. Dia juga pernah beberapa kali enggak sengaja bantuin aku angkat-angkat ini itu ke ruang guru atau dari ruang guru. Lama-lama jadi akrab-akrab canggung gitu. Cuma gitu doing.”
Duh, tiap inget berapa kali aku dan dia sering ketemu rasanya kok jadi malu bahkan untuk denger namanya disebut. Rasanya aneh.
“Heyaaaa…udahlah, jadi enggak mau tau lagi. Enggak seru.” Kata Yola mengakhiri pembicaraan tentang dia, tentang Radit. Aku lega.
Malam semakin larut, kami banyak berbagi cerita tentang ini itu. Mulai dari yang lucu seperti kejailan-kejailan kami saat bergantian minta ijin ke UKS karena sakit perut padahal kami hanya melanjutkan jam istirahat sambil makan beberapa snack, kemudian saat kami menangis bersama setelah berusaha mengangkat seekor anak kucing yang jatuh ke selokan yang cukup besar tapi sayangnya gagal karena derasnya air yang mengalir atau saat kami merasa kesal satu sama lain karena memperoleh nilai ulangan yang berbeda padahal kami sudah belajar bersama. Serta hal yang masih menjadi misteri sampai sekarang yaitu kasus toilet. Pulang sekolah, aku dan Kinar masuk bersama ke dalam toilet yang bersebelahan. Dini menunggu kami di luar, namun begitu selesai saat aku menunggu di luar bersama Dini, Kinar enggak juga keluar dari toilet. Karena penasaran, kamipun mengetuk sambil memanggil nama Kinar tapi enggak ada jawaban, hanya terdengar suara air keran yang menetes karena bocor dan pintu terbuka sedikit. Begitu pintu kami dorong sedikit, Kinar enggak ada di sana dan enggak ada siapa-siapa. Tiba-tiba Yola memanggil, karena katanya dia lelah menunggu kami. Aku dan Dini pun menoleh ke Yola. Ternyata Yola bersama Kinar. Aku dan Dini saling berpandangan kemudian menjerit dan berlari setelahnya. Baru Kami menceritakan kejadian itu pada Yola dan Kinar. Begitu diingat lagi kmai langsung merinding, benar-benar aneh dan menurutku itu mengerikan.
Rasanya enggak habis-habis waktu untuk kami saling bercerita, selalu menyambung ke hal-hal lainnya. Lalu bagaimana rencana kami tiap tahun yang harus saling bertemu dan tiap hari harus saling bercerita tentang keseharian masing-masing. Semua demi terjaganya rasa persahabatan kami. Sampai tanpa sadar kami sudah tidur di posisi nyaman kami.
***
Esoknya kami pulang ke rumah masing-masing.
Sore ini jalanan menuju arah rumahku masih saja ramai padahal ini hari libur, pikirku sambil terus mengayuh sepeda dengan santai. Lama-lama sepeda ini kok jalannya goyang-goyang aneh. Kayaknya bannya kempes deh. Ah! Benar. Kulihat ban belakang sepedaku yang ternyata kempes sambil turun dari sepeda.
BRAKK!
Aku terjatuh. Ah sakitnya… dan tiba-tiba semua gelap. Enggak berapa lama terdengar suara orang-orang panik di sekitarku dan sepertinya ada suara Radit di antaranya. Ah, enggak mungkin. Bagaimana bisa aku tau kalau itu suaranya.
***
Ran ceritanya kok jadinya malah aneh bagian akhir? padahal awalnya udah bagus amat. sy pikir si (tokoh utama) kena pukul perampok waktu nginep di rumah Dini, eh ternyata di tabrak, ama motor pula, lucu aja, hehe (maaf), terus ceritanya kok bagian akhir ngambang gitu, udah tiba2 si Radit nyatain perasaannya pula, hehe..lucu aja, BTW baca ceritanya rany sy jadi pengen buat cerita krn masih nggak puas ama film yg baru aja sy tnton, tau girl X girl? ..kalo sy boleh saran, rany tambahin tuh ceritanya, kalo bisa perbanyak bagian dia ama Radit, haha
BalasHapusaduh saya sebel sama bagian comment soalnya gak keliatan n saya gak tau caranya setting.
Hapussebenernya itu udah dirubah lagi. ada cerita lain pas di awal cerita, ternyata bener setelah dirubah malah aneh.ah apa2an itu saya bikin cowoknya nangis padahal dia gak tau keadaan si cewek. yg tau kan cuma bundanya.
emang sih rada aneh kalo ditabrak motor trus hilang ingatan. saya cuma gak mau tokoh utamanya tragis.
sebenernya juga si cowok suka tp jd gak jelas karena tiba2 nembak. mungkin saya harus buat versi POV si cowok.
ayo Ki, bikin n posting
menanggapi saja.. :)
Hapuscoba aja cek di halama setting blogger terus ctrl+F cari untuk kode #CCCCCC, terus diganti pake #FFFFFF... nanti backgroundnya jadi putih.. :)
semoga dapat membantu..
@affanibnu: makasih yaaa :)
Hapusnggak baca semuanya tapi sepertinya bagian akhir aja yang sedikit di cut, tapi malah menjadi lebih hidup daripada sebelumnya, hehe... pembaca dibuat membuat asumsi sendiri, cool cool, ^^b... lanjutkan...
BalasHapusah enggak mungkin. Bagaimana bisa aku tau kalau itu suaranya.
BalasHapuskalimat terakhir ini membuat saya senang dengan cerita ini
berkesan
:)
ah au ah gelap
hehe....
salam persahabtan
@fajar_p_k: senangnya kalo ada yg ikut senang...
Hapussalam persahabatan :)